Software Untuk Mendengarkan Musik

If you have any problems listening to online Music/radio you could not install the necessary plugins to listen to online radio/music .. So, please install the plugin that we have provided below the plugin you've never installed to listen to online radio without any problems.

internet live radio plug-ins softwareAdobe Flash Player
you need to install the realplayer software to listen to the internet live radioRealPlayer
winamp software is one of the internet radio softwareWinAmp
windows media player need to install in oredr to listen to the online radio stationWindows Media Player

octoshape plugin for Malaysia internet radioOctoshape Plugin
Cincin Emas Model Terbaru
Cincin Emas Harga Murah.
Cincin Emas Model terbaru bahan dari emas 18K. Kirim ke seluruh Indonesia. Bisa Free Ongkir.



Klik Disini
Flag Counter

BURUH DAN INVESTASI

SPTSK-SPSI news,Jakarta 29 Desember 2012 Buruh adalah kunci pertumbuhan ekonomi Indonesia. Ini bukan basa-basi. Ini adalah pusaka yang sayangnya belum dirawat seoptimal mungkin. Dengan produk domestik bruto (PDB) tahun 2012 sekitar 800 miliar dollar AS, Indonesia merupakan negara dengan kekuatan ekonomi ke-16 di dunia. Tahun 2025, Indonesia diperkirakan naik ke peringkat ke-10. ”Peringkat ke-6 saja, kalau mau, bisa,” kata Sekretaris Jenderal Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) Angel Gurria pada suatu kesempatan. PDB adalah salah satu alat ukur pertumbuhan ekonomi suatu negara yang dibentuk oleh enam sumber pertumbuhan. Sumber pertumbuhan itu adalah konsumsi domestik, belanja pemerintah, pembentukan modal tetap bruto atau investasi, dan selisih ekspor-impor. Selama ini, konsumsi domestik menjadi penyumbang utama pertumbuhan ekonomi Indonesia. Namun mulai tahun 2013, pendulum bergeser ke investasi. Dengan skenario pertumbuhan ekonomi 6,8 persen, investasi diharapkan menjadi penyumbang utama dengan pertumbuhan 11,9 persen. Dengan 240 juta jiwa penduduk dan sekitar 50 juta jiwa di antaranya adalah kelas menengah yang sedang tumbuh, Indonesia adalah pasar yang atraktif. Apalagi, dominasi usia produktif memberikan dividen demografi. Dari segi sumber daya alam, Indonesia punya kelimpahan. Sejauh ini, pemanfaatannya masih kurang dari 20 persen. Artinya, ruang ekspansi masih terbentang luas, baik dari sisi sektor maupun geografis. Sementara itu, situasi internasional masih gamang akibat krisis di Eropa dan Amerika Serikat. Kondisi ini dalam beberapa hal ikut mendorong arus modal ke negara berkembang dengan pendapatan menengah, seperti Indonesia. Era investasi itu sudah di depan mata! Dan, investasi itulah arus utama yang akan membawa kapal Indonesia melaju sampai tahun 2025 sebagai negara dengan kekuatan ekonomi terbesar ke-10 atau bahkan ke-6 di dunia. Tahun ini, investasi tumbuh signifikan. Dari data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), realisasi investasi tahun 2011 senilai Rp 251,3 triliun dari target Rp 240 triliun. Sementara target tahun 2012 senilai Rp 290 triliun, realisasi Januari-September sudah Rp 229,9 triliun atau 81 persen. BKPM optimistis investasi akan tembus Rp 300 triliun. Ini tidak termasuk realisasi investasi di sektor perbankan, pasar modal, dan energi, yang tidak masuk catatan BKPM. Nilainya jauh lebih besar karena porsi di BKPM hanya 16-17 persen. Namun ingat, investasi selalu menawarkan dua pilihan. Pertama, investasi tanpa daya guna. Semata-mata Indonesia menjadi obyek eksploitasi tanpa kontrol dan tanpa nilai tambah untuk kepentingan nasional. Sumber daya alam yang dikeruk hanya dikonversi menjadi pajak yang nilainya kecil. Kedua adalah investasi berdaya guna. Investasi yang memanfaatkan sumber daya alam menjadi industri yang bernilai tambah. Ini mutlak mensyaratkan faktor sumber daya manusia karena investasi butuh tenaga terampil dan berpendidikan untuk berkompetisi. Investasi butuh ilmuwan, insinyur, dan ahli-ahli lain. Dalam konteks ini, buruh menjadi kunci. Salah satu tantangan adalah rata-rata produktivitas buruh di semua sektor masih sangat rendah. Perbandingannya, kontribusi buruh di Indonesia terhadap PDB adalah 6.000 dollar AS, sedangkan di Malaysia 14.000 dollar AS. Perlu ditekankan, produktivitas buruh tidak semata-mata ada di tangan buruh. Namun dalam banyak hal, penyebabnya ada di luar buruh, misalnya mesin produksi yang umumnya ketinggalan zaman dan transfer teknologi yang tidak jalan. Sekali lagi, kini eranya investasi. Rapor merah inefisiensi di birokrasi dan infrastruktur memang harus cepat dibirukan. Namun, buruh adalah pusaka yang mendesak untuk dirawat secara optimal. Sumber: Kompas.com

Revisi Permenakertrans No.17/2005

Pusat Humas Kemnakertrans Jl. TMP Kalibata 17 Jakarta Selatan - Jl. Jendral Gatot Subroto Kav 51 Jakarta Pusat - Kemenakertrans Berita Ketenagakerjaan Hari ini, Muhaimin Terbitkan Revisi Permenakertrans No. Per- 17/MEN/ VIII/2005 Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar menerbitkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Permenakertrans) Baru tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak. Permenakertrans baru ini merupakan revisi Permenakertrans No. 17/2005. Dalam penyempurnaan permenakertrans baru ini jumlah jenis kebutuhan yang semula 46 jenis komponen KHL berubah menjadi 60 jenis komponen KHL. Selain itu terdapat 8 jenis penyesuaian/ penambahan jenis kualitas dan kuantitas KHL serta 1 perubahan jenis kebutuhan. “ Hari ini saya tandatangani penyempurnaan Permenakertrans No. Per- 17/MEN/VIII/2005 dan akan disampaikan ke Kementerian Hukum dan Ham untuk diberitakan dalam berita negara, “kata Menakertrans Muhaimin Iskandar seusai menggelar Rapat Kerja dengan Komisi IX DPR RI di Jakarta pada Selasa (10/7). Muhaimin mengatakan revisi ini telah mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk kompromi dari berbagai masukan dan usulan yang berasal dari berbagai pihak. Yaitu Depenas, Forum Konsolidasi Pengupahan Daerah, LKS Tripartit Nasional maupun Serikat pekerja/buruh . “Penambahan ini digunakan sebagai bahan keputusan untuk digunakan dalam pelaksanaan proses survey harga KHL yang baru dalam rangka penetapan upah minimum tahun 2013. Presentasi kenaikannya ini sudah lebih baik dibanding tahun-tahun sebelumnya.” Kata Muhaimin. “Namun pada dasarnya pertimbangan penetapan upah minimum tidak hanya KHL melainkan ada variable lainnya yaitu produktivitas makro, pertumbuhan ekonomi, kondisi pasar kerja dan usaha yang paling tidak mampu (marginal)’ kata Muhaimin. Pertimbangan lainnya, tambah Muhaimin adalah peningkatan kesejahteraan pekerja/buruh, produktivitas makro dan pertumbuhan daerah dan nasional. Permenaketrans yang baru menyangkut komponen survey itu bukan merupakan upah maksimum tetapi social safety net sebagai upah bagi pekerja lajang dengan masa kerja kurang dari satu tahun. “Karena minimum maka itu yang paling rendah tidak boleh dilanggar oleh siapapun. Tidak boleh memberikan upah di bawah upah minimum tersebut,” Kata Muhaimin “Ini hanya menjadi jejaring pengaman saja dan bukan upah pekerja yang sudah berkeluarga. Sedangkan di luar ketentuan tersebut, penetapan besaran upah ditekankan pada kesepakatan secara bipartit antara pengusaha dan pekerja/buruh yang dapat diatur melalui Perjanjian Kerja Bersama (PKB) dan Perjanjian Perusahaan (PP),” Kata Muhaimin. Berikut lampiran lengkap perubahan : Jumlah jenis kebutuhan yang semula 46 dalam penyempurnaan Permenakertrans menjadi 60 jenis KHL. Penambahan baru sebagai berikut : 1) Ikat pinggang, volume 1/12 2) Kaos kaki, volume 4/ 12 3) Deodorant 100 ml/g, volume 6/12 4) Seterika 250 watt, volume 1/48 5) Rice cooker ukuran 1/2 liter, volume 1/48 6) Celana pendek, volume 2/12 7) Pisau dapur volume 1/36 8) Semir dan sikat sepatu, volume 6/12, dan 1/12 9) Rak piring portable plastik, volume 1/24 10) Sabun cuci piring (colek) 500 gr per bulan 11) Gayung plastik ukuran sedang, volume 1/12 12) Sisir, volume 2/12 13) Ballpoint/pensil, volume 6/12 14) Cermin 30 x 50 cm, volume 1/36 Selain penambahan 14 jenis baru KHL tersebut, juga terdapat penyesuaian/ penambahan Jenis kualitas dan kuantitas KHL serta perubahan jenis kebutuhan.

A. Penyesuaian/penambahan jenis kualitas dan kuantitas KHL, yaitu : 1) Sajadah/mukenah/peci, dll ( semula sajadah, mukenah, dll ). 2) Celana panjang/rok/ pakaian muslim ( semula celana panjang/rok ). 3) Sarung/kain panjang volume 3/24 ( semula volume 1/12 ) 4) Sewa kamar sederhana yang mampu menampung jenis kebutuhan KHL lainnya ( semula sewa kamar sederhana ). 5) Kasur dan bantal busa (semula 1/48 ) menjadi kasur busa volume 1/48 dan 6) Bantal busa ( semula volume1/48 ) menjadi 2/36. 7) Semula bola lampu pijar/neon 25 watt/15 watt volume 6/12 atau 3/12 menjadi bola Lampu Hemat Energi (LHE) 14 watt dengan volume 3/12. 8) Listrik dari 450 watt menjadi 900 watt.

B. Perubahan jenis kebutuhan, yaitu: Kompor minyak 16 sumbu dan minyak tanah 10 liter, diubah menjadi: 1) Kompor gas dan perlengkapannya : a. Kompor gas 1 (satu) tungku, volume 1/24 b. Selang dan Regulator, volume 1/24 c. Tabung gas 3 kg, volume 1/60 2) Gas elpiji 2 tabung @ 3 kg

Pusat Humas Kemnakertrans

SERIKAT PEKERJA/BURUH PASCA REFORMASI

SECARA legal, tonggak reformasi di arena politik perburuhan di Indonesia, dimulai dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Tenaga Kerja no. 5 tahun 1998, tentang pendaftaran serikat buruh. Ini sekaligus mengakhiri era serikat buruh tunggal yang dikuasai FSPSI (Federasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia). Dirintis sejak pemerintahan B.J. Habibie yang singkat (1998—1999) melalui ratifikasi terhadap konvensi ILO no. 87 mengenai kebebasan berserikat, dua tahun kemudian, di bawah pemerintahan Abdurrahman Wahid (2000—2001), era serikat buruh tunggal yang dikontrol negara diakhiri pada tahun 2000 dengan diundangkannya kebebasan berserikat melalui Undang-undang Serikat Pekerja/Serikat Buruh no. 21 tahun 2000 pada tanggal 4 Agustus 2000. Undang-undang ini mengatur pembentukan, keanggotaan, pemberitahuan dan pendaftaran, hak dan kewajiban, keuangan dan kekayaan, pembubaran dan hal-hal lain yang menyangkut serikat buruh. Sejak saat itu, diawali dengan pecahnya FSPSI menjadi FSPSI dan FSPSI Reformasi, mulai bermunculan serikat buruh/serikat pekerja (SB/SP) baru. Sejak tahun 2000, pertumbuhan SB/SP baru tersebut bagaikan jamur yang tumbuh di musim hujan. Ribuan serikat buruh di berbagai tingkat bermunculan dan mendaftarkan dirinya ke Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Data resmi terakhir menyebutkan, per Juni tahun 2007, tercatat ada 3 konfederasi (KSPSI/Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia, KSBSI/Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia, KSPI/Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia), 86 federasi, dan belasan ribu SB/SP tingkat pabrik. Dari ketiga konfederasi tersebut, KSPSI merupakan konfederasi serikat terbesar yang menyatakan memiliki 16 federasi dan lebih dari empat juta orang anggota. Posisi kedua ditempati KSPI dengan 11 federasi dan anggota lebih dari dua juta orang, serta KSBSI dengan anggota mencapai hampir dua juta orang di posisi ketiga. Sementara itu, data tahun 2002 yang dikeluarkan FES menunjukkan, jumlah populasi serikat buruh tersebut berada dalam situasi di mana jumlah anggota serikat mencapai lebih dari delapan juta orang dan tingkat unionisasi sebesar sembilan persen dari total angkatan kerja atau 25 persen dari total angkatan kerja di sektor formal. Data verifikasi terakhir yang dilakukan Depnakertrans untuk tahun 2006 menunjukkan, KSPSI tetap merupakan konfederasi terbesar dengan 16 federasi serikat pekerja, meskipun, seperti juga kedua konfederasi yang lain, mengalami penurunan jumlah anggota yang cukup signifikan dari tahun ke tahun. Serikat pekerja/serikat buruh di Indonesia secara umum memiliki tiga ciri pokok. Ciri pertama, adalah pada sifatnya yang rentan terhadap perpecahan; kedua, adalah perbedaan orientasi serikat; dan ketiga, sifatnya yang eksklusif. Ciri-ciri tersebut dijelaskan lebih jauh di bawah ini.

Kategorisasi Serikat Asal-muasal serikat menunjukkan kerentanan dan kurangnya keterampilan berorganisasi di kalangan serikat pekerja/serikat buruh, yang menyebabkan pecahnya serikat dan pemisahan diri sekelompok orang untuk membentuk organisasi serikat pekerja/serikat buruh baru. Munculnya serikat-serikat baru dengan nama yang sama dengan dibubuhi kata ‘reformasi’ atau ‘baru’ di belakangnya, antara lain membuktikan kerentanan tersebut. Mengacu pada sejarah SB/SP masa Orde Baru, serikat-serikat buruh yang ada saat ini dapat digolongkan setidaknya menjadi tiga kelompok besar yakni, kelompok SPSI, kelompok eks-SPSI, dan kelompok non-SPSI. Kelompok eks-SPSI adalah serikat sektoral yang memisahkan diri dari SPSI, sementara kelompok non-SPSI adalah serikat yang samasekali tidak memiliki keterkaitan dengan atau independen dari SPSI.

Kelompok non-SPSI ini juga dapat dikelompokkan setidaknya dalam dua kategori yakni, kelompok serikat di masa Orde Lama yang muncul kembali dan SB/SP yang sama sekali baru. Serikat buruh baru kategori terakhir ini selain muncul dengan basis buruh sektor industri manufaktur, juga muncul di sektor jasa antara lain keuangan, pariwisata, dan jurnalistik. Dasar kategorisasi tersebut tergambarkan dengan jelas dalam pohon silsilah asal mula serikat buruh. Sebagian besar SB/SP yang berdiri, secara institusional maupun individual, memiliki keterkaitan dengan SPSI. Ini menjelaskan mengapa di serikat-serikat pekerja pecahan SPSI, hampir tidak ada pendekatan pengorganisasian dan strategi baru yang berbeda dari SPSI. Pohon silsilah juga menunjukkan, perpecahan serikat tidak hanya melanda SPSI, tetapi juga serikat-serikat eks-SPSI dan non-SPSI. Perbedaan-perbedaan yang sifatnya pragmatis--dalam arti lebih disebabkan oleh hal-hal praktis daripada hal-hal prinsip—lebih mewarnai sebab perpecahan serikat (lihat juga Hadiz 2005). Pada umumnya perpecahan diikuti oleh perebutan atau pembagian anggota. Ada kalanya anggota bahkan tidak tahu bahwa di tingkat nasional serikatnya sudah pecah. Keputusan anggota untuk bergabung di salah satu serikat yang pecah lebih didasari oleh kedekatan personal dengan para pengurus dibanding hal-hal yang bersifat prinsip organisasi. Pengelompokan serikat tersebut tidak mencerminkan pengelompokan orientasi dan ideologi serikat, sebagai ciri kedua. Secara umum SB/SP di Indonesia, menganut prinsip unitaris dan tripartisme serta, dapat dikategorikan sebagai economic unionism atau business unionism yang membatasi perjuangan kepentingannya pada kesejahteraan anggota dalam kerangka hubungan kerja. Hal itu merupakan buah dari kebijakan rezim Orde Baru yang secara sistematis menghapus orientasi politik serikat/gerakan buruh dan menanamkan orientasi ekonomi melalui sistem Hubungan Industrial Pancasila (HIP), yang diakui merupakan sebuah konsep yang ideal dan menjadi koridor gerak serikat pekerja/serikat buruh. Eksklusivisme adalah ciri ketiga SB/SP. Ada dua jenis eksklusivisme di sini: antara SB/SP dengan kelompok masyarakat lain dan di antara serikat sendiri. Arena dan agenda perjuangan serikat sangat terbatas pada isu-isu hubungan kerja di dalam pabrik, sementara dinamika sosial-ekonomi-politik di luar dinding pabrik luput dari perhatian (lihat AKATIGA-TURC-LABSOSIO, 2006).

Tuntutan-tuntutan dalam aksi buruh juga tidak menarik bagi kelompok-kelompok masyarakat lain untuk mendukung dan memperluas dukungan terhadap perjuangan buruh. Hubungan dan aliansi SB/SP dengan kelompok masyarakat lainnya seperti kelompok tani, nelayan, dan lain-lain sangat terbatas. Kalaupun terjadi aliansi dengan kelompok-kelompok miskin lainnya, aliansi tersebut sifatnya di permukaan saja dan bukan merupakan strategi yang permanen dan melekat dalam keseluruhan strategi perjuangan mereka. Eksklusivisme juga melanda hubungan di antara sesama serikat, yang disebabkan oleh perebutan pengaruh dan pengakuan terhadap eksistensi mereka. Situasi itu selain menjadi bibit perpecahan, juga menyebabkan soliditas gerakan serikat pekerja/serikat buruh menjadi rentan. Pergeseran politik keserikatburuhan yang cukup penting tersebut, terjadi dalam kerangka sistem hubungan industrial di Indonesia yang tidak berubah yakni, Hubungan Industrial Pancasila. HIP berfilosofikan hubungan perburuhan atau hubungan buruh-majikan atau hubungan industrial yang serba harmonis, di mana posisi buruh dan majikan adalah setara dan keduanya memiliki kepentingan yang sama serta di mana negara berperan untuk mengayomi keduanya (lihat juga Hadiz 1997; Manning 1998; Ford 2001). Meskipun istilah ini makin jarang terdengar tetapi, secara prinsip konsep ini masih mendominasi para aktor hubungan industrial. Meskipun demikian, dalam praktik untuk mengakomodasi tuntutan modal global dalam kerangka persaingan antar negara dalam merebut investasi, pendulum keberpihakan negara lebih sering bergerak ke arah majikan. Berbagai kebijakan yang melonggarkan ruang gerak pengusaha diciptakan, yang membawa implikasi langsung pada meningkatnya tantangan bagi pengorganisasian buruh. Dimulainya era kebebasan berserikat, sangat bertolak belakang dengan situasi ketenagakerjaan di Indonesia. Krisis ekonomi telah meledakkan angka pengangguran, karena bergugurannya unit-unit usaha yang mengandalkan mata uang dollar AS dalam transaksi input-output produksinya. Pabrik-pabrik tutup meninggalkan barisan penganggur baru yang adalah anggota serikat buruh. Penting dicatat, sebelum krisis maupun setelahnya, serikat buruh di Indonesia didominasi oleh buruh kerah biru atau buruh pabrik. Ketika krisis melanda, barulah bermunculan serikat-serikat buruh di kalangan buruh kerah putih terutama, buruh sektor perbankan dan keuangan serta pariwisata. Para penganggur tersebut praktis menanggalkan keanggotaannya dari organisasi serikat buruh. Ini berarti populasi anggota serikat buruh berkurang. Pada saat yang sama, dengan persyaratan minimum anggota yang sangat mudah dipenuhi (10 orang sudah dapat mendirikan serikat buruh), muncul serikat-serikat buruh baru. Makna Kebebasan Berserikat Implikasi yang muncul dari kondisi obyektif ketenagakerjaan tersebut adalah terjadinya konflik di antara serikat, karena memperebutkan anggota. Konflik ini rupanya sudah diantisipasi oleh negara, baik di dalam UU SP/SB no. 21 tahun 2000 maupun dalam UU Penyelesaian Perselisihan Perburuhan no.04 tahun 2004, yang membuat kategorisasi konflik dengan menyebut konflik antar serikat sebagai salah satu kategorinya. Sebagaimana disinggung oleh Herawati, banyaknya jumlah serikat buruh tidak berarti bertambahnya jumlah buruh yang diorganisasi dan menjadi anggota serikat buruh. Hal itu disebabkan oleh dua hal. Pertama, pada paruh pertama sewindu kebebasan berserikat, serikat-serikat buruh yang muncul masih terfokus pada sektor industri manufaktur dan memiliki kecenderungan ‘memancing di kolam yang sama,’ dengan merekrut anggota yang sudah menjadi anggota serikat buruh lain (lihat juga Tjandraningsih 2002). Mereka tidak mengorganisasikan buruh yang belum mengenal serikat buruh atau yang belum menjadi anggota serikat buruh. Dalam paruh kedua perkembangan, pengorganisasian buruh meluas ke sektor-sektor jasa perdagangan, keuangan, transportasi, pos, perkebunan, dan lain-lain yang membawa implikasi, penyebaran kesadaran berorganisasi kepada kaum pekerja dan buruh yang sebelumnya tidak terorganisasi. Penyebab kedua, tidak bertambahnya jumlah anggota serikat buruh adalah makin berkurangnya minat buruh untuk berserikat karena bekerjanya rezim fleksibilitas. Situasi yang kontradiktif tersebut menimbulkan pertanyaan, apa makna kebebasan berserikat ketika, kondisi objektif ketenagakerjaan di Indonesia sangat tidak mendukung lahirnya serikat buruh yang kuat? Pertanyaan selanjutnya, bagaimana para elite serikat buruh baru membaca kondisi objektif tersebut dan apa motif utama melahirkan serikat-serikat buruh baru? Pertanyaan pertama mudah dijelaskan dalam kerangka arus besar proses demokratisasi dan tata pergaulan internasional. Reformasi yang terjadi di Indonesia, merupakan lambang ditinggalkannya sistem pemerintahan yang otoriter dan dimulainya pemerintahan yang demokratis. Berbagai instrumen demokrasi diselenggarakan termasuk, kebebasan mendirikan dan menjalankan kegiatan SB/SP (Tornquist 2007).

Konteks menuju negara demokratis menjadi salah satu elemen tata pergaulan internasional. Di dalam tata pergaulan tersebut, Indonesia, sebagai negara berkembang, sangat membutuhkan pengakuan internasional dan modal internasional. Ratifikasi konvensi dan diundangkannya kebebasan berserikat, pada dasarnya merupakan sebuah kebijakan pencitraan internasional bahwa Indonesia sedang berubah. Untuk itu, harus ada simbol perubahan yang diterima masyarakat internasional, dalam hal ini, UU kebebasan berserikat merupakan salah satu simbol tersebut. Jawaban terhadap pertanyaan kedua adalah sebuah konsensus dan konsekuensi logis dari dibukanya sumbat kebutuhan berorganisasi: manifestasi keinginan berorganisasi dan sebuah euphoria, sebuah perayaan dari keinginan yang terpendam. Hasilnya, hampir sepuluh tahun masa kebebasan berorganisasi, serikat-serikat pekerja/buruh tumbuh dan layu atau tumbuh dan berkembang. Mereka yang layu sebelum berkembang adalah mereka yang sekedar ikut perayaan dan mencoba menggunakan kesempatan yang ada. Tantangan Serikat Bagaimanapun, sejarah mencatat, dalam dunia keserikatburuhan di Indonesia, pernah muncul berbagai serikat buruh dengan keragaman cirinya. Ini bisa dilihat dalam catatan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi hingga tahun 2004.

Pada kenyataannya, ada lebih banyak SB/SP di Indonesia, dengan berbagai alasan tidak mendaftarkan diri di Depnakertrans. Serikat-serikat yang tercatat ini terkonsentrasi pada beberapa sektor padat karya seperti, tekstil, garmen dan kulit, kimia-energi-pertambangan, jasa keuangan dan pariwisata, kayu dan kehutanan, perkebunan, logam dan mesin, serta makanan-minuman-tembakau. Meskipun demikian, kebanyakan serikat mengklaim mempunyai basis di hampir semua sektor. Dalam kaitannya dengan organisasi internasional, sebagian serikat buruh di Indonesia, berafiliasi dengan serikat buruh internasional meskipun, afiliasi tersebut secara umum belum menjadi strategi serikat buruh di Indonesia. KSPSI, misalnya, sebagai konfederasi terbesar karena sejarahnya sebagai serikat buruh kuning, hingga kini tidak berafiliasi dengan serikat buruh internasional meskipun, telah mendeklarasikan diri sebagai serikat independen pascareformasi. Ini berbeda dengan KSPI yang berafiliasi dengan ICFTU (International Confederation of Free Trade Unions) dan SBSI berafiliasi dengan World Congress of Labour. Kedua serikat internasional tersebut kini bersatu menggalang kekuatan dan mengubah namanya menjadi International Confederation of Trade Union. Di samping kedua serikat internasional tersebut, serikat buruh di Indonesia juga berafiliasi dengan serikat internasional lainnya seperti, Global Union Federation (GUF). Dari seluruh populasi federasi serikat buruh, terdapat 19 serikat yang berafiliasi dengan anggota GUF: Union Network International: 1 serikat (ASPEK); Public Service International: 2 serikat ; International Union for Food: 2 serikat (SBNI dan FSPM); International Transport Federation: 6 serikat (SP KA, KPI, STA SBSI, SP TPK, IAK Garuda Indonesia, Trade union of JICT); International Textile Garment Leather Wear Federation: 1 serikat (SPN); International Metal Federation: 1 serikat (SPMI); International Federation for Journalist: 1 serikat (AJI); International Federation of Building and Wood Workers: 3 serikat (FSP Kahutindo, F-KUI, SP BPU); Education International: 2 serikat (PGRI, FESDIKARI SBSI). Di lingkungan ketiga konfederasi, informasi mengenai afiliasi internasional dan kebijakan serta program yang muncul dari afiliasi tersebut, cenderung terpusat di konfederasi dan federasi. Sementara, di federasi-federasi yang baru informasi mengenai afiliasi tersebut diketahui para anggotanya hingga tingkat unit kerja. Hal itu merupakan konsekuensi dari struktur organisasi federasi non-SPSI, yang lebih sederhana dan langsung menjangkau serikat di unit kerja, dibandingkan dengan struktur organisasi SPSI yang bertingkat banyak (lihat tulisan Herawati). Faktor lain, adalah kebijakan federasi internasional, yang ingin langsung menurunkan programnya di tingkat basis sebagai kekuatan pokok serikat. Kesenjangan hubungan di dalam struktur organisasi serikat telah menjadi perhatian beberapa serikat dan donor internasional, setelah mengetahui lemahnya kualitas dan kapasitas basis meskipun, berbagai program pendidikan keserikatburuhan sudah dilaksanakan. Kesenjangan tesebut menyebabkan terjadinya pergeseran orientasi kerjasama dengan serikat yaitu, orientasi kerjasama yang lebih kepada serikat di tingkat unit kerja daripada dengan serikat pusat. Program langsung dengan basis diyakini akan lebih efektif dalam upaya penguatan serikat pekerja/buruh.

Situasi krisis hingga kini menyajikan berbagai tantangan baru yang lebih rumit bagi serikat buruh. Tantangan eksternal yang dominan mencakup tingkat pengangguran yang tinggi (11 persen) dan bekerjanya rezim dan praktik fleksibilitas pasar tenaga kerja dan fleksibilitas produksi (Tjandraningsih & Nugroho 2007, akan terbit). Rezim ini dengan sangat efektif menggerogoti kekuatan basis anggota serikat buruh, melalui pergeseran status hubungan kerja tetap menjadi tidak tetap. Padahal, serikat buruh tidak mengenal keanggotaan buruh tidak tetap. Selain itu, wujud fleksibilitas hubungan kerja yang muncul dalam bentuk kerja kontrak atau PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu), mengikatkan hubungan kerja jangka pendek dan tanpa kepastian kerja. Situasi ini menciptakan kondisi dilematis bagi buruh, antara memilih berserikat atau tetap bekerja. Rezim fleksibilitas telah menciptakan kondisi dimana bekerja dan berserikat tak bisa lagi dipersatukan. Kondisi ini secara langsung menghapus keberadaan serikat buruh. Tantangan eksternal lain datang dari strategi kapitalisme global, yang memunculkan persaingan ketat antarnegara dalam memperebutkan investasi dan dari kebijakan nasional menyangkut desentralisasi atau otonomi daerah. Tantangan-tantangan tersebut membawa implikasi, rendahnya posisi tawar serikat terhadap negara dan modal serta, masih kecilnya pengaruh serta keterlibatan serikat dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut masalah ketenagakerjaan dan pasar kerja.

Pada saat yang sama serikat buruh juga menghadapi tantangan internal klasik, yang mencakup masalah-masalah organisasi dan sumber daya manusia. Karakteristik tenaga kerja yang telah berubah, juga memerlukan pemikiran dan rumusan baru untuk bisa diorganisasi. Kelemahan organisasional dan sumber daya manusia, merupakan kondisi objektif yang masih terus harus dihadapi SB/SP. Hal ini sangat terkait dengan sejarah SB/SP semasa Orde Baru dan karakteristik objektif angkatan kerja di Indonesia. Angkatan kerja di Indonesia didominasi oleh tenaga-tenaga berpendidikan rendah—lebih dari 50 persen berpendidikan tidak lulus SD —yang menunjukkan rendahnya posisi tawar mereka sebagai tenaga kerja. Selain menyangkut tingkat pendidikan, karakteristik angkatan kerja yang masuk ke pasar tenaga kerja adalah makin terpisahnya mereka dengan sejarah dan kesadaran berorganisasi sebagai pekerja/buruh karena bekerjanya secara simultan berbagai faktor, yang terutama didominasi oleh persaingan yang sangat ketat dalam memperebutkan kesempatan kerja sehingga menggerus semangat kolektif dan menghilangkan relevansi berorganisasi.

Tidak ada SB/SP yang bisa mengelak dari tantangan tersebut. Pada saat yang sama, kreativitas, inovasi pengorganisasian, dan tindakan kolektif adalah kebutuhan yang tak bisa lagi ditunda. Hanya melalui aksi kolektif yang terorganisasi secara rapi dan sistematislah, agenda SB/SP untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan pekerja/buruh akan lebih mudah dilakukan dan dicapai.**** Indrasari Tjandraningsih, adalah Peneliti Perburuhan AKATIGA-Pusat Analisis Sosial, Bandung. Artikel ini dalam versi yang sedikit berbeda, sebelumnya merupakan Pengantar untuk Direktori Serikat Buruh di Indonesia, yang diterbitkan oleh AKATIGA, 2007.


Sejarah Singkat SPSI - 1973

Sebuah usia yang tidak muda lagi kalau ditilik dari sejarah panjang kelahiran atmosfir tradisi berserikat yang sudah ada semenjak Kebangkitan Indonesia dengan berdirinya Boedi Oetomo tahun 1908, juga berdiri juga Persatuan Buruh Kereta Api dan Trem [ VERENEGING VAN TRAMWEG PERSONEL] . Kemudian bermunculan berbagai serikat buruh/pekerja, seperti Perserikatan Guru Hindia Belanda, Perserikatan Pegawai Pendidikan Bumi Putera, Serikat Pegawai Pekerjaan Umum dan lain sebagainya. Dalam perjalanan sejarahnya organisasi-organisasi tersebut akhirnya terpecah menjadi dua kelompok. Kelompok pertama menginginkan agar misi serikat pekerja/buruh tetap berada dalam relnya, yaitu memperjuangkan perbaikan tingkat kesejateraan hidup para anggotanya, alias berada dalam jalur sosial dan ekonomi saja. Sementara kelompok yang lainnya, terbawa arus untuk turut terjun dalam dunia politik, yang ketika itu memang sedang mulai menghangat. Sepertinya keadaan akan menjadi tenang untuk selamanya, sampai kemudian datang “pinangan” dari Gabungan Serikat Buruh Gabungan Vertikal (GASBEV) kepada GASBI. Mereka akhirnya bersatu dan berganti nama menjadi Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI). Nama terakhir ini pada Mei 1947 “menjalani garis hidupnya” menjadi pengkhianat bangsa. Pada tanggal tersebut mereka berkonggres di Malang dan memutuskan berkiblat ke komunis internasional. Dalam sejarah duka lara bangsa ini, ternyata mereka terlibat pengkhianatan PKI Muso di Madiun pada tahun 1948 dan Gerakan G.30 S/PKI tahun 1965. Dalam periode tahun 1950 sampai dengan tahun 1960-an dinamika serikat pekerja/buruh bukan semakin surut, tetapi justru semakin menigkat. Seiring dengan tumbuhnya partai politik yang bagai cendawan di musim hujan, serikat pekerja/buruh pun, yang biasanya merupakan “onderbouw” partai politik tertentu, bermunculan. Apalagi ketika persyaratan membentuk serikat pekerja/buruh seperti yang tersurat dalam Peraturan Menteri Perburuhan No. 90 tahun 1955 tidak terlalu sulit untuk dipenuhi. Asal tahu saja, ketika itu terdapat sekitar 150 serikat pekerja/buruh, ratusan serikat pekerja lokal dan tujuh buah Federasi Organisasi Buruh. Namun dapat ditebak, tujuan mereka hanyalah untuk mengumpulkan masa sebanyak mungkin bagi kepentingan politik partainya. Apalagi ketika itu menjelang diadakan Pemilu tahun 1955. Nampaknya untuk menyatukan pekerja/buruh tidak surut, meski selalu berakhir dengan perpecahan. Majelis Permusyawaratan rakyat Buruh Indonesia ( MPBI ) pada tanggal 26 Mei 1972 yang ditanda tangani di Jakarta oleh Pimpinan Sidang Pleno MPBI : Bpk. Adolf Rahman ( Ketua ) dan Bpk. Rasyid St. Radjamas ( Wkl. Ketua ) bersama para tokoh/ Pimpinan Serikat Buruh lainnya yang pada waktu itu.
1. Dengan dicapainya Konsensus tentang persatuan dan kesatuan Serikat Buruh - Serikat buruh di Indonesia tersebut, maka dengan didahului Deklarasi persatuan buruh tanggal 20 Februari 1973 berdirilah wadah Federasi Buruh Seluruh Indonesia ( FBSI ) dengan 21 SBLP ( Serikat Buruh Lapangan Pekerjaan )
2. Penyatuan gerakan Serikat Pekerja Indonesia tersebut dilakukan dengan menata kembali dari organisasi Pekerja Seluruh Indonesia secara integral FBSI terdiri dari 21 Serikat Pekerja yang terorganisir atas dasar lapangan pekerjaan dan profesi, yaitu ;

1. Serikat Buruh Pertanian dan Perkebunan ( SBPP )
2. Serikat Buruh Rokok dan Tembakau ( SBRT )
3. Serikat Buruh Bangunan dan Pekerjaan Umum ( SB BPU )
4. Serikat Buruh Tekstile dan Sandang ( SBTS )
5. Serikat Buruh Makanan dan Minuman ( SBMM )
6. Serikat Buruh Pariwisata ( SB PAR )
7. Serikat Buruh Perkayuan ( SBP )
8. Serikat Buruh Elektronik ( SBE )
9. Serikat Buruh Karet dan Kulit ( SBKK )
10. Serikat Buruh Asembling, mesin dan Perbengkelan ( SBAMP )
11. Serikat Buruh Niaga, Bank dan Asuransi ( SBNIBA )
12. Serikat Buruh Farmasi dan Kimia ( SBFK )
13. Serikat Buruh Logam dan Keramik ( SBLK )
14. Serikat Buruh Kesehatan ( SBKes )
15. Serikat Buruh Karyawan Maritim Indonesia ( SBKMI )
16. Serikat Buruh Percetakan dan Penerbitan ( SBPerPen )
17. Serikat Buruh Minyak, Gas Bumi dan Pertambangan ( SBMGPU )
18. Serikat Buruh Kesatuan Pelaut Indonesia ( SBKPI )
19. Serikat Buruh Angkutan, Sungai, Danau dan Feri ( SBSUNDARI )
20. Serikat Buruh Angkutan Jalan Raya ( SBAJR )
21. Serikat Buruh Transport Udara ( SBTU )